Partai Lokal Semangat Atau Penyakit Baru Demokrasi di Aceh

oleh -693 views

Oleh : Rola Zein Mahasiswi UIN Ar-Raniry

Terhitung dari pemilu pertama yang menyertakan Parlok sebagai kontestan, maka sudah tiga Periode Partai ookal dengan segala dinamika uniknya mewarnai perpolitikan lokal di Aceh dan secara keseluruhan saya ingin mengatakan bahwa setelah lahirnya Partai Lokal demokrasi di Aceh sudah berkembang” Oh itu sangat subjektif dan hanya pandangan pribadi anda. Kata penyanggah, benar bahwa ini opini pribadi, silakan dijawab dengan mengajukan opini tandingan dan saya pastikan saya akan menjadi orang yang pertama yang akan mengapresiasi itu.

Ya, sekali lagi saya katakan bahwa menurut hemat dan penilaian saya Dengan Partai Lokal yang berbasis di Aceh dan satu-satunya daerah yang punya Partai Lokal Secara umum demokrasi di aceh sudah mengalami pertumbuhan yang cukup pesat dibandingkan era sebelum lahirnya Partai Lokal atau tepatnya bisa dikatakan pasca MoU antara GAM dan RI pertumbuhan demokrasi di Aceh berkembang pesat bila ditilik dari keterlibatan/partisipasi rakyat dalam mengikuti tahap demi tahap dalam proses demokrasi itu sendiri, instrument paling simple misalkan kita bisa melihat dari partisipasi rakyat sebagai konstituen politik dalam setiap momentum demokrasi, lebih dari itu secara lebih jelas kita juga bisa melihat bagaimana pertumbuhan “kesadaran” rakyat Aceh untuk berpartisipasi secara aktif dalam kontestasi politik itu bukan lagi sekedar memilih atau mencoblos, tapi rakyat Aceh sudah berpartisipasi aktif sejak dari tahapan awal pencalonan baik anggota parlement maupun calon kepala daerah, ini semua tidak terlepas dari lahirnya Partai Lokal yang di isi oleh orang-orang yang sangat dekat dengan rakyat.

Jika sebelumnya dengan Partai Nasional sebalum lahirnya Partai Lokal Rakyat Aceh terlihat cukup pasif dan terkesan jelas hanya menunggu tanggal pencoblosan untuk memilih, pasca MoU Normalisasi Aceh dan lahirnya Partai Lokal rakyat Aceh sudah mulai sibuk jauh-jauh hari sebelum pencoblosan, rakyat Aceh mulai terlibat dari proses perekrutan calon anggota legeslatif maupun bakal kontestan pilkada di pemilu eksekutif dengan melemparkan berbagai wacana, kritikan bahkan kecaman jika mereka merasa caleg atau kandidat yang diajukan partai terutama Partai Lokal memiliki kekurangan atau setidaknya jika tidak sesuai dengan keinginan mereka.

Di sisi lain kita bisa melihat di mana sebelum lahirnya Partai Lokal rakyat Aceh masih sangat pasif dan taat untuk mejadi pemilih yang “baik?” plus lugu untuk tidak pernah mengkritisi apa lagi mengecam meskipun ada kandidat yang diajukan partai politik yang ada sama sekali tidak mereka inginkan namun mereka tidak punya ruang untuk melakukan protes atau sekedar menyampaikan harapan akan seperti apa orang yang mereka inginkan, Rakyat Aceh hanya memiliki dua pilihan memilih apa adanya (sesuai stok yang disediakan partai nasional) atau tidak memilih sama sekali, suara kritis mereka tak pernah terdengar.

Pengurus partai nasional atau orang-orang yang terlibat dan punya link ke partai terlihat sebagai sosok yang begitu elitis yang sangat “tinggi dan superior” untuk diusik oleh rakyat, sementara pasca lahirnya Partai Lokal rakyat Aceh sudah lebih dekat dan mungkin untuk mempunyai pilihan yang sesuai dengan keinginan mereka, pengurus atau bahkan ketua Partai Lokal bukan lagi merupakan sosok yang se elit sebelumnya, bahkan rakyat Aceh telah berani untuk mengkritisi secara langsung atau bahkan dengan cara yang “lebih keras” sekalipun, rakyat telah berani untuk “mengatur” orang yang akan mengatur mereka kelak.

Bukankah dari sisi ini perkembangan demokrasi di Aceh telah berjalan sangat menggembirakan setelah lahirnya Partai Lokal.

Lantas timbul pertanyaan, kenapa seperti itu penilaiannya. Bukankah pasca lahirnya partai lokal perpolitikan Aceh cenderung keras.

Benar bahwa perpolitikan di Aceh pada periode awal kemunculan Partai lokal cederung keras dan brutal, tapi sekali lagi yang harus difahami bahwa justru itu yang merupakan bukti bahwa rakyat semakin pro aktif dalam berpolitik, persoalan kemudian ada yang menjurus kasar itu merupakan salah satu kakurangan yang tidak dapat dipungkiri, namun tetap saja kebrutalan itu harus dilihat sebagai wujud partisipasi publik yang “memang” seharusnya tidak sekasar itu, tapi kita semua bisa melihat bahwa dari pemilu ke pemilu kebrutalan dan kekasaran itu terus menurun dan senderung menghilang, di sisi lain karakter keras dan kasar itu sejatinya harus dipahami sebagai bagian yang tidak terlepas dari kenyataan bahwa rakyat Aceh telah sekian lama hidup di bawah kekerasan yang seakan sudah menjadi dari kebiasaan, di sini, di Aceh pertarungan politik sebelumnya bahkan mrlibatkan sejata (sebelum damai) sehingga ketika bertransformasi ke jalur pertarungan yang lebih demokratis tentunya butuh prosea dan Alhamdulillah proses itu dengan segala pengorbanan dan korban yang trlah jatuh sejauh ini telah menu jukkan hasil yang cukup progressif untuk perkembangan demokrasi itu sendiri

Intinya Jika Demokrasi dimaknai sebagai sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” (Abraham Lincoln), maka di lihat dalam konteks perkembangan demokrasi di Aceh hari ini terutama dari keterlibatan rakyat dalam memilih atau dari unsur “dari rakyat” dan “oleh rakyat” maka indeks pertumbuhan demokrasi di Aceh bisa dikatakan sangat positif dan menggembirakan setelah lahirnya Partai Lokal, tentunya tidak terlepas dari kekurangannya yang sekali lagi memang tidak bisa dipungkiri.

Namun demikian bagus atau tidaknya sebuah sistem Demokrasi tidak hanya ditinjau dari satu sisi tapi juga harus diukur dengan instrument lainnya sesuai dengan standar IPD (Indeks Pertumbuhan Demokrasi) itu sendiri yaitu keterlibatan publik, kebebasan berpendapat (kebebasan pers) dan kebebasan lembaga politik. Jika ketiga aspek ini terpenuhi maka baru bisa dikatakan sebuah sistem demokrasi yang berjalan itu sudah sangat demokratis.

Sejujurnya dari sisi yang berbeda bila dilihat secara lebih seksama demokrasi di Aceh setelah lahirnya Partai Lokal di Aceh masih dapat dikatakan demokrasi yang sakit, ini tidak terlepas dari penjakit social yang masih menghinggapi rakyat Aceh, termasuk elit Partai Lokal, sebagaimana yang dikatakan Mahatma Gandhi seorang negarawan India (1925) menyebutkan bahwa setidaknya ada ”seven social sins” atau tujuh penyakit sosial yang senantiasa menghatui rakyat di setiap Negara yaitu meliputi: berpolitik tanpa prinsip, ingin sejahtera tanpa kerja, ingin bersenang-senang tanpa hati nurani, berpengetahuan tanpa watak, perniagaan tanpa moralitas, ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan dan ibadah tanpa pengorbanan ditambah satu lagi yang sedang mewabah adalah keinginan dan keberanian tampa perasaan.

Betapa kita melihat bahwa realitas menunjukkan bahwa penyakit di atas masih sangat mudah ditemukan di tengah-tengah kehidupan rakyat Aceh. Yang sering terjadi di Aceh misalnya pelaku politik terutama kader Partai Lokal yang berpolitik tanpa prinsip, prinsip kebebasan dan saling menghargai pendapat orang lain tidak tumbuh seperti yang dinginkan terutama di periode pertama kemunculan Partai Lokal namun hal ini secara perlahan tapi pasti telah berubah dan semakin baik dari hari ke hari, yang dulunya ketika terjadi perbedaan pandangan politik malah melahirkan permusuhan yang “tidak jarang” berujung pada kekerasan, sekarang Alham dulillah rakyat Aceh semakin dewasa dalam menyikapi setiap perbedaan padangan politik yang muncul di tengah masyarakat.

Di sisi lain kita juga sangat sering menemukan politik dijadikan sebagai sarana untuk mewujudkan keinginan sejahtera tanpa kerja (ini sama saja baik politikus dari partai lokal maupun partai nasional) di mana kebanyakan para elit parpol atau bahkan orang-orang yang berpengaruh memanfaatkan jabatan politik untuk memperkaya diri, misalnya ada toke-toke (sponsor) yang membiayai caleg atau kandidat untuk merebut jabatan politik untuk dijadikan ATM berjalan atau mesin uang baik secara langsung maupun tidak atau bahkan ada oknum pelaku politik yang ingin menjadi anggota dewan hanya untuk mendapatkan keuntungan materil bukan untuk memperjuangkan aspirasi rakyat (konstituen) yang telah memilihnya.

Penyakit lainnya yaitu ingin bersenang-senang tanpa hati nurani, betapa banyak kita lihat dalam kenyataan bahwa ada pejabat public yang merumuskan kebijakan yang hanya memikirkan keuntungan pribadi dan kelompoknya tanpa harus memperdulikan nasib orang lain, menghalalkan segala cara untuk merebut sebuah jabatan yang diinginkannya termasuk dengan mendhalimi atau bahkan mengancam keselamatan orang lain sehingga keinginan dan keberanian tanpa perasaan tersebut menjadikan panggung demokrasi menjadi “seram” dan kasar layaknya panggung pembantaian, namun sekali lagi hal ini sudah mengalami perubahan yang cukup berarti selah mengalami benturan-demi benturan sehingga akhirnya menemukan bentuk baru yang lebih ideal, lebih sehat dan lebih dewasa.

Setidaknya itulah sebagian kecil plus minus demokrasi di Aceh setelah lahirnya Partai Lokal, terlepas dari itu realitas persoalan di atas merupakan kendala terbesar dan penyakit paling kronis yang telah dan masih saja menghinggapi pemikiran dan perasaan pelaku politik di Aceh pada masa awal kemunculan Partai Lokal, sebagai daerah bekas konflik yang rakyatnya sudah sekian lama sangat akrab dan terbiasa dengan kekerasan maka kondisi tersebut bukanlah sebuah kondisi yang harus diherankan, karena butuh waktu untuk memperbaiki watak rakyat untuk menjadi lebih sopan dan jauh dari kekerasan, itu bukalah pekerjaan mudah. ‪Butuh, Waktu, Kesabaran, Kedewasaan, Serta kerja keras untuk sebuah hasil yang sempurna dan Alhamdulillah dengan kerja keras semua pihak hari ini kita bisa lihat sendiri wajah demokrasi di Aceh yang semakin ramah dan jauh dari kekerasan.

Harus diakui ini tentu merupakan bagian dari capaian besar yang telah diraih oleh rakyat Aceh, apakah kita sudah berpuas diri? Tentu tidak, kita harus terus bekerja keras untuk memastikan bahwa ke depan perpolitikan Aceh harus lebih baik, lebih dewasa dan tentunya lebih progressif bukan sekedar dalam proses tapi juga dalam menghasilkan output dari proses politik itu sendiri yaitu kesejahteraan bagi rakyat Aceh secara keseluruhan yang diharapkan mampu dilahirkan melalui kebijakan-kebijakan maupun program-program yang nantinya dikreasikan oleh orang-orang terbaik yang terpilih melalui proses politik yang semakin demokratis.

Bagaimana caranya? Ya untuk memastikan bahwa yang terpilih dalam proses demokrasi adalah orang-orang baik dan progressif maka kita harus memastikan bahwa panggung demokrasi kita harus didominasi oleh orang-orang baik dan dan cerdas, mulai dari kontestan hingga ke konstituen, butuh upaya keras menuju ke sana, terutama dalam membangun kesadaran dan kecerdasan di level pemilih yang tingkat pendidikannya belum menggembirakan setelah sekian lama “dihantam” perang meskipun demikian kita harus memastikan bahwa upaya memperbaiki orang kuat (elit politik) dan memperkuat orang baik dengan mencerdaskan pemilih tidak boleh berhenti, sampai kapan. Sampai Aceh menjadi seperti yang telah lama kita idamkan, Aceh yang mulia yaitu Aceh yang makmur, sejahtera dan berwibawa.

Ketika orang baik dan orang cerdas berhasil mendominasi panggung politik insya Allah nantinya kita semua akan sampai pada destinasi yang bisa kita banggakan dan dibanggakan oleh generasi kita ke depan, hayuk orang baik, mari turun tangan, mari ambil bagian, mari terlibat.

Aceh milik kita semua, kita semua bertanggung jawab untuk memperbaikinya, semoga Aceh esok bisa lebih baik dari hari ini.

Di tas itu semua satu hal yang harus kita camkan bersama adalah dalam berdemokrasi Rivalitas dan Persaudaraan itu harus tetap dijaga dan dilestarikan serta ditempatkan secara proporsional, agar tujuan “masing-masing” dapat diwujudkan tanpa harus mengorbankan kepentingan “bersama” yang jauh lebih besar dan lebih pantas untuk diperjuangkan.

Perdebatan itu penting hanya dan demi untuk mendapatkan sebuah pemahaman yang akan memberikan tuntunan untuk dapat mewujudkan Masa depan yang lebih baik.(*).