Menggugat MoU Helsinki Masih Belum Tuntas

oleh -1,082 views

I.PENDAHULUAN

Pasca gempa bumi dan gelombang Tsunami yang meluluhlantakan Aceh pada 26 Desember 2004 dan selanjutnya dibentuknya Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi ( BRR) Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Aceh dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatra Utara.

Badan tersebut didirikan pada tanggal 16 April 2005, berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 2/2005 yang dikeluarkan oleh Presiden Republik Indonesia. Tanggal 29 April 2005 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) No. 34/2005 menjelaskan tentang struktur organisasi dan mekanisme BRR.

Badan tersebut mempunyai staf penuh waktu dan dua badan pengawas. BRR beroperasi selama 4 tahun dan berkantor pusat di Banda Aceh dengan kantor cabang di Nias dan kantor perwakilan di Jakarta.

Badan ini diketuai oleh Kuntoro Mangkusubroto. Dewan Pengarah yang terdiri dari 17 orang diketuai oleh Menko Polhukam Widodo AS. Ketua Dewan Pengawas yang berjumlah sembilan dipimpin Prof. Dr. Abdullah Ali.

Pada tanggal 17 April 2009, BRR Aceh-Nias resmi dibubarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Badan tersebut mampu melaksanakan tugasnya sesuai dengan Perpu dan Perpres tersebut melakukan rehabilitasi dan rekontruksi di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara.

Selanjutnya untuk mengakhiri konflik Aceh antara Gerakan Aceh Merdeka(GAM) dengan Pemerintah RI yang sudah berlangsung lama dan sudah banyak menelan korban antara pihak yang bertikai dan warga sipil yang terkena ekses konflik Aceh ,maka pada 15 Agustus 2005 di Helsinki ditandatangani Mou (Memorandum of Understanding) Helsinki sebagai langkah-langkah untuk mengakhiri konflik Aceh. MoU Helsinki merupakan pernyataan komitmen kedua belah pihak untuk penyelesaian konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua. Kesepakatan Helsinki memerinci isi persetujuan yang dicapai dan prinsip-prinsip yang akan memandu proses transformasi.

MoU Helsinki melalui lima tahapan perundingan yang dimulai pada 27 Januari 2005 dan berakhir pada 15 Agustus 2005. Tahap pertama berlangsung dari 27 hingga 29 Januari 2005, tahap kedua dari 21 Februari 2005 hingga 23 Februari 2005, tahap ketiga dari 12 April 2005 hingga 14 April 2005, tahap keempat dari 26 Mei 2005 hingga 31 Mei 2005, tahap kelima dari 12 Juli 2005 hingga 17 Juli 2005 dan penandatanganan kesepakatan bersama itu ditetapkan pada 15 Agustus 2005.

Catatan penulis ,para delegasi Indonesia pada perundingan tersebut terdiri dari Hamid Awaluddin, Sofyan A. Djalil, Farid Husain, Usman Basyah dan I Gusti Wesaka Pudja. Sedangkan tim perunding GAM terdiri dari Malik Mahmud, Zaini Abdullah, M Nur Djuli, Nurdin Abdul Rahman dan Bachtiar Abdullah. Fasilitator perundingan adalah Martti Ahtisaari, Mantan Presiden Finlandia, Ketua Dewan Direktur Crisis Managemet Initiative, dibantu oleh Juha Christensen.

Naskah asli MoU Helsinki terdiri dari tiga rangkap, ditandatangani oleh Hamid Awaluddin selaku Menteri Hukum dan HAM atas nama Pemerintah Republik Indonesia, Malik Mahmud, selaku pimpinan tim perunding GAM dan Martti Ahtisaari, Mantan Presiden Finlandia, Ketua Dewan Direktur Crisis Managemet Initiative selaku fasilitator proses negosiasi.

Menurut catatan penulis,ada enam bagian yang terangkum dalam MoU Helsinki yaitu :

1. Bagian pertama menyangkut kesepakatan tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh.

Bagian kedua tentang Hak Asasi Manusia.
Bagian ketiga tentang Amnesti dan Reintegrasi GAM ke dalam masyarakat,
Bagian keempat tentang Pengaturan Keamanan.
Bagian kelima tentang Pembentukan Misi Monitoring Aceh.
Bagian keenam tentang Penyelesaian Perselisihan.
Selain itu dalam MoU Helsinki ada 71 butir pasal.adapun ke 71 butir pasal tersebut antara lain , Aceh diberi wewenang melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, dimana kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Konstitusi.

II.PERMASALAHAN

Walaupun sudah berjalan hampir 15 tahun nota kesepakatan bersama itu diteken kedua belah pihak, sampai sekarang masih banyak butir-butir yang ditulis pada MoU Helsinki belum terealisasi dan sampai kini pada tahun 2020 pasal-pasal tentang MoU Helsinki masih tetap bergema lagi walaupun Provinsi Aceh sudah memiliki Undang-Undang Khusus yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh .

Menurut analisis Penulis berdasarkan naskah MoU Helsinki dari 71 Pasal MoU Helsinki, sedikitnya terdapat 9 (sembilan) Pasal yang sampai saat ini belum terealisasi.Memang ada sejumlah pasal yang sedang diperjuangkan oleh Pemerintahan Aceh bersama DPRA,namun belum terealisasi untuk dipersembahkan kepada rakyat Aceh.

Kesembilan pasal yang belum terealisasi antara lain sebagai berikut:

Pertama, poin 1.1.3 menyangkut dengan nama Aceh dan gelar pejabat senior yang dipilih akan ditentukan oleh Legislatif Aceh setelah pemilu yang akan datang .Pasal ini juga belum ada realisasinya.

Kedua, poin 1.1.4. Perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956.Sampai sekarang realisasinya adalah nol,hanya janji-janji saja.

Ketiga, poin 1.1.5 Aceh memiliki hak menggunakan simbol-simbol wilayah, termasuk bendera, lambang dan hymne. Pontara int ini juga masih terjadi tarik menarik antara Pemerintahan Aceh dan Pemerintah Pusat.Apa yang dimaksud dalam pasal ini tidak jelas kriteria tentang bendera,hymne dan lambang.

Keempat, pada poin 1.3.1 Aceh berhak memperoleh dana melalui utang luar negeri. Aceh juga berhak menentapkan tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan oleh Bank Sentral RI (Bank Indonesia).Pasal ini juga belum terealisasi atau tidak jelas wujudnya apakah Aceh akan memiliki Bank Sentral sendiri selain Bank Indonesia?

Kelima, pada poin 1.3.8 Pemerintah RI dan Aceh menyetujui auditor luar melakukan verifikasi atas pengumpulan dan pengalokasian pendapatan antara pusat dengan Aceh.Poin ini juga belum jelas realisasinya sampai saat ini.

Keenam, pada poin 1.4.3 suatu sistem peradilan yang tidak memihak dan independen, termasuk pengadilan tinggi dibentuk di Aceh dalam sistem peradilan RI. Sedangkan yang Ketujuh, poin 1.4.5 semua kejahatan sipil yang dilakukan aparat militer di Aceh akan diadili pada pengadilan sipil di Aceh.Poin ini juga belum terwujud.

Berdasarkan analisis penulis,walaupun hampir 15 tahun usia MoU itu diteken masih belum keseluruhan pasal di dalamnya telah dilaksanakan.Misalnya yang sampai saat ini belum dilaksanakan adalah pada poin 1.4.5 yang menyatakan semua kejahatan sipil yang diduga dilakukan aparat militer di Aceh akan diadili pada pengadilan sipil di Aceh.Begitu juga pasal 2.2. Sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia akan dibentuk untuk Aceh.Faktanya belum ada realisasinya.

Catatan penulis,diduga selama konflik mendera Provinsi Aceh ada sejumlah kasus yang disebut-sebut diduga kasus pelanggaran Hak Azasi Manusia di Aceh semasa terjadi konflik di daerah “Serambi Mekkah “ itu antara lain,Tragedi Alue Nireh,Aceh Timur (12 Juni 1999),Tragedi Beutong Ateuh,Aceh Barat(23 Juli 1999),Peristiwa Gedung KNPI Aceh Utara(9 Januari 1999) ,tragedi Idi Cut/Arakundo,Aceh Timur(3 Februari 1999),tragedi Rumoh Geudong,Kabupaten Pidie padam zaman DOM 1990 ,insiden Simpang KKA,Aceh Utara(3 Mei 1999),Tragedi Jambo Keupok,Aceh Selatan(17 Mei 2003) tragedi Bumi Flora Aceh Timur(2001),tragedi relawan LSM RATA,Blang Mangat,Lhokseumawe(6 Desember 2000) tragedi Timang Gajah,Bener Meriah (2001) dan sejumlah kasus lainnya.

Berdasarkan catatan Penulis, setidaknya diduga ada lima kasus pelanggaran HAM berat terjadi di Aceh , namun belum satu pun dituntaskan oleh negara sampai kini. Peristiwa Rumoh Geudong di Pidie (1998), Simpang KKA di Aceh Utara (1999), Bumi Flora di Aceh Timur (2001), Timang Gajah di Bener Meriah (2001), dan Jambo Keupok di Aceh Selatan (2003).Padahal kelima kasus tersebut sudah pernah direkomendasikan oleh Komnas HAM dan Komisi Orang Hilang(Kontras} serta Amnesty International.

Catatan Penulis, Padahal Pada Mei-Juni 2013, Komnas HAM RI melakukan penyelidikan untuk keperluan proyusditia terhadap 5 kasus tersebut. Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebutkan rincian jumlah korban. Pembantaian massal di Jambo Keupok menewaskan 16 orang, pembunuhan di Simpang KKA memakan 22 korban, penyiksaan di Rumoh Geudong menyebabkan 378 orang meninggal, penghilangan paksa di Bener Meriah dialami 25 warga, dan pembantaian di Bumi Flora membuat 31 orang kehilangan nyawa. Semuanya korban sipil. Namun dari sejumlah kasus tersebut berkasnya”membal” ketika disampaikan oleh Komnas HAM ke Kejaksaan Agung.Padahal sudah ada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Azasi Manusia dan sudah ada butir pasal yang diatur dalam MoU Helsinki.

Menurut Otto Syamsuddin Ishak,dalam buku yang berjudul Bandar Refleksi Tentang Aceh(Kumpulan Kolom Otto Syamsuddin Ishak 15 Agustus -19 Desember 2005 yang diterbitkan oleh penerbit Aceh Kita,Januari 2006).Otto Syamsuddin Ishak menyatakan,pada saat ini,karena perang dihentikan dengan perdamaian Helsinki,maka ada kemungkinan penulisan peristiwa disentralkan pada para elite pecundang.Apa yang menimpa sebagaian besar rakyat dalam berbagai bentuk kejahatan kemanusiaan akan diabaikan.Mungkin hanya mengendap dalam benak para korban,dan sejarah lisan.

Menurut Otto,pertanda saat ini bahwa berbagai peristiwa di Aceh dilihat dari 2 sisi yang kontradiktif.Bagi aktor perang Non-Aceh(mereka yang datang ke Aceh),sejarah Aceh sama halnya dengan catatan yang mengungkit-ungkit masa lalu yang kelam(baginya).Lalu dia pun mengancam:jika peristiwa ditulis ulang,maka perdamaian akan terancam.Baginya-karena kejahatan kemanusiaan yang akumulatif telah terjadi-maka prinsipnya.”Lupakan masa lalu,mari buka lembaran baru ! “

Bagi pihak tersebut penulisan sejarah tidak akan terjadi.Sejarah yang mengungkit kelakuannya hanya membuat hidupnya tidak nyaman,serta turunannya kelak.Slogan mereka:”Lupakan masa lalu,dan produksi kebijakan baru ! “

Menurut Otto,bagi orang Aceh,penulisan sejarah bukan saja bagian dari kengandrungannya pada kisah-kisah heroik di masa lalu.Sejarah juga mata air suri tauladan hidup yang tak pernah kering.Sejarah adalah bagian dari identitas diri keacehannya.Siapakah orang Aceh? Siapakah orang Aceh di masa sulit dan pahit itu? Siapakah pejuang,pecundang atau penjahat perang? Sayangnya,sejarah sebagai proyek rekontruksi yang terbesar dan utama di pasca konflik dan tsunami itu belum diagendakan juga.

Otto yang juga mantan anggota Komnas HAM itu juga menyatakan,rakyat Aceh harus segera menulis sejarahnya sendiri,sebelum memori dirusak oleh penjahat kemanusiaan dan penulis sejarah yang busuk.

Sejarah Aceh bukanlah apa yang tersisa di benak para pelupa.Atau ,apa yang menghantui para penjahat kemanusiaan.Sejarah Aceh melampaui itu semua.Sejarah tidak ditulis oleh orang-orang yang lupa,atau yang hendak melupakan kejahatannya,atau yang membusungkan dadanya.Sejarah yang utuh ada dalam benak mereka yang mengalami,menyaksikan,dan mendengarkan apa yang terjadi dalam setiap babak sejarah sejak tahun 1976.

Kedelapan, Pemerintah RI akan mengalokasikan tanah pertanian dan dana yang memadai kepada Pemerintah Aceh untuk diberikan kepada semua mantan pasukan GAM, semua tahanan politik yang memperoleh amnesti dan rakyat sipil yang dapat menunjukkan kerugian jelas akibat konflik.Pasal ini juga belum terwujud.

Kesembilan, 3.2.4. Pemerintah RI akan mengalokasikan dana bagi rehabilitasi harta benda
publik dan perorangan yang hancur atau rusak akibat konflik untuk dikelola oleh Pemerintah Aceh.

3.2.5. Pemerintah RI akan mengalokasikan tanah pertanian dan dana yang
memadai kepada Pemerintah Aceh dengan tujuan untuk memperlancar reintegrasi mantan pasukan GAM ke dalam masyarakat dan kompensasi bagi tahanan politik dan kalangan sipil yang terkena dampak. Pemerintah Aceh akan memanfaatkan tanah dan dana sebagai berikut:

a). Semua mantan pasukan GAM akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila mereka tidak mampu bekerja.

b). Semua tahanan politik yang memperoleh amnesti akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila tidak mampu bekerja.

c. Semua rakyat sipil yang dapat menunjukkan kerugian yang jelas akibat konflik akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila tidak mampu bekerja.

3.2.6. Pemerintah Aceh dan Pemerintah RI akan membentuk Komisi Bersama
Penyelesaian Klaim untuk menangani klaim-klaim yang tidak terselesaikan.

Poin tersebut di atas juga hanya sekedar cerita-cerita saja yang ditulis dalam MoU Helsinki karena sampai saat ini belum jelas dibentuk ,hanya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang sudah ada dibentuk,namun kinerjanya juga belum menunjukkan hasil yang maksimal sesuai dengan harapan rakyat Aceh.

Padahal menurut catatan penulis,di Aceh banyak tersedia lahan dan tanah HGU milik perkebunan swasta dan BUMN(PTPN) yang bisa diambil sebahagian oleh Pemerintah untuk dibagikan kepada mantan GAM dan korban konflik.Namun tidak dilakukan oleh Pemerintah Aceh maupun Pemerintah Pusat.

Bahkan pada Pilkada Gubernur Aceh tahun 2006 ,pasangan Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh.Kedua orang ini memang beraroma sebagai perpanjangan tangan GAM.

Selanjutnya pada Pilkada Gubernur –Wagub Aceh tahun 2012,Pasangan dr.Zaini Abdullah-Muzakir Manaf terpilih sebagai Gubernur dan Wagub Aceh.Kedua orang ini juga sebagai perpanjangan tangan GAM .

Kemudian pada Pilkada Gubernur-Wagub Aceh tahun 2017,Irwandi-Nova Iriansyah terpilih sebagai Gubernur dan Wagub Aceh.Namun,Irwandi Yusuf dibekuk KPK dan dijebloskan dalam penjara pada tahun 2019 karena tersandung kasus Tipikor.

Bahkan mayoritas pasangan kepala daerah-wakil Kepala daerah ,baik bupati dan Walikota di Aceh sejak Pilkada 2006,2012,2017 dimenangkan oleh pasangan mantan kombatan GAM,baik yang diusung secara calon perseorangan (independen) bermodalkan foto copi warga,maupun yang diusung Partai Aceh (PA) yang merupakan partai politik lokal yang lahir dideklarasikan oleh mantan kombatan GAM setelah adanya MoU Helsinki dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Begitu juga untuk kursi legislatif,baik untuk DPR Provinsi Aceh maupun DPR Kabupaten/kota di Aceh,Partai Aceh mendominasi meraih perolehan kursi di legislatif.

Namun yang perlu dipertanyakan kemana saja mereka selama 15 tahun sehingga MoU Helsinki masih banyak poin butir-butir atau pasal yang belum terealisasikan ? Padahal mereka mayoritas memegang kendali kekuasaan eksekutif dan legislatif di Aceh.

III.LANGKAH-LANGKAH MENUNTUT REALISASI MoU HELSINKI

Dalam rangka untuk membicarakan tentang butir-butir MoU Helsinki masih banyak yang belum terealisasi,maka pada Kamis,13 Februari 2020, Wali Nanggroe Malik Mahmud Al Haythar bersama rombongan bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pertemuan tersebut untuk membahas berbagai perjanjian MoU Helsinki antara RI dengan GAM yang sudah berjalan 15 tahun yang lalu,namun masih banyak butir-butir atau pasal dalam MoU Helsinki yang belum ada implementasinya.

Malik Mahmud dan rombongan memberi masukkan kepada Presiden bahwa perdamaian Aceh sudah berlalu 15 tahun, namun ada beberapa poin di MoU yang belum selesai. Wali Nanggroe Aceh dan rombongan berharap supaya pemerintah selesaikan semuanya agar dapat berjalan dengan baik.

Wali Nanggroe Aceh dan rombongan melaporkan kepada Presiden , setelah 15 tahun perdamaian Aceh dengan RI, namun arah pembangunan dan ekonomi dinilai belum berjalan maksimal. Malik didamping tokoh pejuang GAM, Muzakir Manaf (Mualem) berharap naskah perjanjian antara pemerintah dengan GAM yang belum diselesaikan agar segera dituntaskan.

Pada pertemuan itu, Presiden Jokowi di dampingi Kepala Staf Kantor Presiden (KSP), Ketua Wantimpres Wiranto dan Agung Laksono (anggota Watimpres) merespon dengan baik apa yang disampaikan Malik Mahmud. Presiden langsung memberikan intruksi kepada Moeldoko untuk mempelajari dan menyelesaikan persoalan ini.

Moeldoko pada kesemptan tersebut juga menyatakan nanti pihaknya akan duduk bersama, mungkin 3 bulan sekali untuk menyelesaikan apa yang harus diselesaikan dan dalam tiga bulan ke depan pihaknya akan melakukan koordinasi dengan tim Aceh untuk menemukan formula agar ada solusi terkait dengan harapan masyarakat Aceh. Untuk itu akan koordinasi dengan tim yang ada di Aceh untuk membuat langkah-langkah menyelesaikan hal tersebut dan sekaligus melaksanakan program-program pembangunan di Aceh.

Selain itu ,untuk merealisasikan butir-butir dalam MoU Helsinki yang sampai saat ini belum terealisasi,pada Rabu, 19 Februari 2020, Wali Nanggroe Aceh Paduka Yang Mulia Tgk. Malik Mahmud Al Haytar mengadakan pertemuan khusus dengan Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia dalam misi menyampaikan perkembangan terkait implementasi perjanjian damai (MoU) antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Republik Indonesia tahun 2005 silam.

Kedatangan Wali Nanggroe dan rombongan disambut langsung oleh Dubes Uni Eropa, Mr. Vincent Piket yang didampingi Political Advisor Ms. Laura Beke. Wali Nanggroe Aceh melaporkan kepada Dubes Uni Eropa tentang sudah 15 tahun MoU Helsinki diteken ,tetapi masih banyak butir-butir dalam MoU Helsinki implementasinya belum dilaksanakan . Kedatangan Wali Nanggroe dan rombongan di Kedutaan Besar Uni Eropa di Jakarta adalah bagian dari upaya mendesak percepatan MoU Helsinki. Seperti diketahui, damai Aceh tahun 2005 merupakan misi pertama Uni Eropa untuk wilayah Asia.

Pada pertemuan yang berlangsung di Kedutaan Besar Ini Eropa, Menara Astra, Jakarta, Wali Nanggroe didampingi oleh para petinggi KPA yaitu H. Muzakir Manaf atau Mualem, Kamaruddin Abu Bakar atau Abu Razak, Ketua KPA wilayah Bireuen Darwis Djeunib, dan Juru Bicara KPA Azhari Cage. Hadir juga Ketua DPRA H. Dahlan Djamaluddin, Bupati Pidie Jaya, Aiyub Abbas, dan dan Staf Khusus Wali Nanggroe Muhammad Raviq.

Kepada Dubes Uni Eropa,Vincent, Wali Nanggroe juga melaporkan bahwa sebelumnya Wali Nanggroe dan rombongan sudah menjumpai langsung Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, di Istana Negara Jakarta untuk membicarakan tentang percepatan realisasi MoU Helsinki.

Vincent Piket, menyambut baik laporan yang disampaikan Wali Nanggroe kepada pihaknya. Selanjutnya, Vincent mengaku hasil pertemuan tersebut akan segera dilaporkan ke pimpinan di negaranya karena yang dilaporkan Wali Nanggroe Aceh bersama rombongan adalah hal yang sensitif.

Menurut buku “Aceh Perlu Keadilan Kesejahteraan dan Keamanan “ yang diterbitkan oleh Kantor Menko Polsoskam dinyatakan,Aceh merupakan salah satu masalah nasional yang cukup krusial.Berbagai upaya untuk menyelesaikan masalah Aceh terus dilakukan,namun hasilnya belum cukup menggembirakan.

IV.PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Seharusnya jika masih ada butir-butir MoU Helsinki yang belum direalisasikan dan masih terjadi perselisihan dalam penyelesaian masalah yang belum direalisasikan,maka pihak yang ikut menandatangani MoU tersebut harus merujuk kembali pada pasal atau butir-butir MoU yang ada dibawah ini.

6.1. Jika terjadi perselisihan berkaitan dengan pelaksanaan Nota Kesepahaman ini, maka akan segera diselesaikan dengan cara berikut:

a) Sebagai suatu aturan, perselisihan yang terjadi atas pelaksanaan Nota Kesepahaman ini akan diselesaikan oleh Kepala Misi Monitoring melalui musyawarah dengan para pihak dan semua pihak memberikan informasi yang dibutuhkan secepatnya. Kepala Misi Monitoring akan mengambil keputusan yang akan mengikat para pihak.

b) Jika Kepala Misi Monitoring menyimpulkan bahwa perselisihan tidak dapat diselesaikan dengan cara sebagaimana tersebut di atas, maka perselisihan akan dibahas bersama oleh Kepala Misi Monitoring dengan wakil senior dari setiap pihak. Selanjutnya, Kepala Misi Monitoring akan mengambil keputusan yang akan mengikat para pihak.

c) Dalam kasus-kasus di mana perselisihan tidak dapat diselesaikan melalui salah satu cara sebagaimana disebutkan di atas, Kepala Misi Monitoring akan melaporkan secara langsung kepada Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia, pimpinan politik GAM, dan Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative, serta memberi tahu Komite Politik dan Keamanan Uni Eropa.

Setelah berkonsultasi dengan para pihak, Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative akan mengambil keputusan yang mengikat para pihak. Pemerintah RI dan GAM tidak akan mengambil tindakan yang tidak konsisten dengan rumusan atau semangat Nota Kesepahaman ini.

Namun sampai sekarang setelah hampir 15 tahun MoU Helsinki diteken oleh pihak Pemerintah RI dan GAM,upaya seperti poin tersebut di atas nyaris tidak terdengar ada upaya menerapkan isi poin “penyelesaian perselisihan “ seperti yang telah dicantumkan pada poin tersebut di atas.Akibatnya penyelesaian perselisihan yang belum tuntas tersebut hanya berisi catatan-catatan saja,sedangkan realisasinya berjalan “ditempat”.

Menurut Penulis,Pemerintah Pusat membentuk badan/lembaga khusus seperti ketika membentuk BRR Aceh-Nias untuk mempercepat rehab dan rekon pasca gempa dan tsunami yang silam sehingga proses pembangunan berjalan lancar di Provinsi Aceh.

Begitu juga untuk mempercepat implementasi butir-butir MoU Helsinki alangkah baiknya jika Pemerintah Pusat membentuk Badan/Lembaga khusus untuk mempercepat realisasi implementasi butir-butir MoU Helsinki.Sebab lembaga yang ada seperti Badan Reintegrasi Aceh(BRA) dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi(KKR) Aceh yang sudah dibentuk oleh Pemerintah kinerjanya belum maksimal dalam merealisasikan butir-butir MoU Helsinki.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan yang telah dipaparkan di atas,maka dapat ditarik kesimpulan dan saran sebagai berikut:

Masih banyak butir atau Pasal MoU Helsinki yang implementasinya belum terealisasi

Untuk menumbuhkan kepercayaan rakyat Aceh kepada Pemerintah Pusat maka perlu dicari solusi yang terbaik agar butir-butir MoU Helsinki dapat direalisasikan.

Perlu dibentuk badan/lembaga khusus yang dibentuk berdasarkan Perpres dan Perpu. Struktur badan//lembaga tersebut terdiri dari unsur Pemerintah Pusat dan utusan perwakilan rakyat Aceh agar dapat mencari solusi untuk merealisasikan butir-butir dalam MoU Helsinki untuk merawat perdamaian di Aceh dan sekaligus untuk mencegah timbulnya konflik baru antara Aceh dengan Pemerintah Pusat.

Harus ada rasa kebersamaan dan saling iklas antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Aceh untuk mewujudkan implemantasi butir-butir MoU Helsinki dan permasalahan yang terjadi agar perdamaian yang sudah dibangun melalui MoU Helsinki tetap terjaga dalam rangka penyelesaian masalah secara komfrehensif dan bermartabat bagi rakyat Aceh dan Pemerintah Pusat.

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh(Pemda Provinsi,Kab/Kota se Aceh) perlu memperbanyak program dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan bagi rakyat .

(Penulis adalah wartawan Waspada Pemerhati Kebijakan Pemerintah)

No More Posts Available.

No more pages to load.