Mencoba Memahami Suasana Kebatinan Bambang Soesatyo Dalam Sengkarut Penolakan Amandemen Konstitusi

oleh -110 views
Ilustrasi

Oleh : Ahmad Khozinudin

Agak sulit, bahkan boleh saja ada yang berpraduga posisi politik Bambang Soesatyo (Bamsoet) selaku Ketua MPR RI saat ini terjepit. Wacana amandemen UUD 1945 (baca: Konstitusi) telah memantik kontroversi yang umumnya dipahami publik sebagai jalan tol untuk mengokohkan kekuasaan Jokowi.

Bamsoet dianggap sebagai puncak ‘Biang Kerok’ atas bergulirnya narasi Jokowi tiga periode atau setidaknya mempertahankan kekuasaan Jokowi dengan menambah massa kekuasaan di periode kedua hingga tahun 2027. Hal itu, ditandai dengan kunjungan resmi pimpinan MPR RI ke istana Presiden RI untuk membahas wacana amandemen konstitusi, padahal secara prosedur dan substansi tidak ada relevansi dan urgensi bagi MPR RI untuk ‘lapor’ kepada Presiden Jokowi.

Protes keras TPUA yang dipimpin Eggi Sudjana terhadap manuver Bamsoet terkait wacana amandemen konstitusi, membuat diskursus amandemen konstitusi magnitudnya meluas. Apalagi, kritik TPUA juga menyoal pertemuan Pimpinan MPR RI di istana yang menemui Jokowi.

Bamsoet semakin terpojok, dan untuk mengurangi tekanan publik sekaligus untuk menghindari dirinya terkesan ‘berkepentingan’ secara pribadi dalam isu amandemen, Bamsoet menempuh sejumlah manuver politik, diantaranya :

Pertama, Bamsoet melempar otoritas amandemen konstitusi ada pada partai politik. Tujuan yang ingin diraih, bahwa wacana yang digulirkan MPR RI tidak akan mungkin dapat tereksekusi tanpa dukungan partai politik.

Bamsoet ingin mengalihkan kemarahan publik pada wacana amandemen dari dirinya beralih ke partai politik. Sehingga, publik semestinya fokus mengarahkan kritikan kepada partai politik, bukan pada dirinya.

Bamsoet juga mengumbar narasi tidak perlu marah dan kebakaran jenggot, terkait wacana amandemen konstitusi mengingat perjalanannya masih panjang. Dalam tahapan amandemen konstitusi, dinamika politik dan partai politik sangat berpengaruh signifikan terhadap kelanjutan wacana ini.

Kedua, agar tidak dipahami ada ‘kepentingan pribadi’ dalam isu amandemen konstitusi, Bamsoet juga sibuk berteori tentang pentingnya Pokok Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai Haluan untuk menjalankan Kapal Bangsa. Bamsoet, tanpa sengaja membuka ‘kotak pandora’ amandemen konstitusi yang bertujuan untuk mengokohkan kekuasaan Jokowi, dengan menegaskan pentingnya PPHN yang nantinya diadopsi dalam produk hukum TAP MPR.

Alih-alih publik terbawa pada narasi urgensi amandemen konstitusi untuk masa depan bangsa, pernyataan Bamsoet ini justru mengkonfirmasi kebenaran adanya kehendak mengokohkan kekuasaan Jokowi melalui amandemen konstitusi.

Ketiga, Bamsoet ingin terus menutupi ‘motif politik’ dibalik amandemen konstitusi, dengan berbagai argumentasi akademis dan intelektual tentang urgensi amandemen konstitusi. Misalnya, Bamsoet meluncurkan buku pentingnya PPHN, yang bertujuan mencegah negara tanpa arah (buku ke-19 nya).

Bamsoet tidak ingin, publik membaca adanya kepentingan pribadi atau partainya (Golkar) dibalik semangatnya MPR RI menggulirkan wacana amandemen. Bamsoet ingin membangun kepercayaan publik, bahwa wacana amandemen yang digulirkannya semata-mata untuk kepentingan bangsa dan negara.

Keempat, Bamsoet mencoba mengadopsi cara kuno untuk menghindari tekanan publik, yakni : *mencari kambing hitam.* Dalam Buku Ke-20 Bamsoet yang akan diluncurkan 10 September 2021 dengan judul *’Hadapi dengan Senyuman’*, Bamsoet mencoba menciptakan *’Common Enemy’* dengan kembali jualan isu Radikalisme.

Melalui buku tersebut, Bamsoet menyebut ada ancaman lain di tengah-tengah merosotnya ekonomi rakyat, yakni radikalisme, anarkisme, rasialisme, sparatisme, intoleran dan adu domba antar anak bangsa. Sehingga, menurutnya diperlukan penguatan kebangsaan guna menjaga kebhinekaan dan sikap kenegarawanan yang otentik.

Amandemen konstitusi, boleh jadi nantinya juga akan mencari legitimasi dalam rangka melindungi Pancasila dan UUD 1945 dari ancaman radikalisme. Bahkan, Bamsoet telah memulai dengan narasi perlunya vaksinasi ideologi, bukan hanya vaksinasi untuk mencegah Covid-19.

Adopsi norma PPHN dalam amandemen konstitusi, akan diklaim sebagai ‘Vaksinasi Konstitusi’ dalam rangka melindungi ideologi negara dari ancaman virus radikalisme. Entah, apakah nantinya Bamsoet juga akan latah seperti Hasto Kristiyanto yang berani lancang menyebut Khilafah sebagai ideologi yang mengancam negara, sebagai bentuk protes terhadap kritik publik atas keberatan rencana mengundangkan RUU HIP, beberapa waktu lalu.

Demikianlah, suasana kebatinan seorang Bamsoet saat ini tertekan karena tanggung jawab kemarahan publik atas rencana amandemen konstitusi semua seolah-olah diarahkan dan tertumpah kepadanya. Padahal, ‘pesta kekuasaan’ melalui amandemen konstitusi dinikmati seluruh elit politik termasuk partai politik, bukan hanya dirinya.

Bamsoet awalnya ingin tampil didepan, agar merasa punya peran terbesar sehingga dirinya dan Golkar mendapatkan deviden besar sebagai kompensasi dari suksesi amandemen konstitusi. Nyatanya, Bamsoet hari ini harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya mendapatkan tekanan publik paling besar, sementara kompensasi kekuasaan yang dijanjikan dari keringat amandemen belum juga mendapatkan garansi. (*).

Penulis : Ahmad Khozinudin

Sastrawan Politik